Bhutan, Negara Paling Bahagia di Dunia

Bhutan, Negara Paling Bahagia di Dunia

BHUTAN terletak di ba­wah pegunungan Hima­laya, tanah­nya tidak subur, hasil tam­bangnya […]

Travel Murah

Travel Murah Terdekat Semarang

Admin

BHUTAN terletak di ba­wah pegunungan Hima­laya, tanah­nya tidak subur, hasil tam­bangnya ti­dak banyak dan pendapatan warganya sedikit, akan tetapi masuk salah satu negara paling bahagia di du­nia.

Kerajaan Bhutan yang ter­letak di bawah pegunungan Himalaya an­tara Tiongkok dan India, pada 1865 menjadi protektorat Inggris dan 1949 dialihkan kepada India.

Bhutan dalam bahasa San­se­kerta berarti “Dataran ting­gi di sebelah Tibet”, agama Budha aliran Tibet (Tantra­yana) mempengaruhi keper­ca­yaan dan gaya hidup rakyat setempat.

Selama ratusan tahun Bhutan tidak memiliki sistem sensus ke­pen­dudukan yang lengkap, maka itu statistik kependudukan Bhutan tidak akurat, diperkirakan berpen­du­duk sekitar 700.000 hingga 1.500.000 orang; terutama dido­minasi suku Tibet dan suku Nepal.

Suku Tibet terutama me­netap dan tersebar di bagian barat, kurang lebih 65% dari populasi keseluru­han. Suku Nepal tersebar di bagian se­­latan, sekitar 35%. Selain itu ma­sih ada suku India. Bhutan ada­lah ne­gara agama yang seluruh war­ganya beriman, ada sebanyak 75% warga me­nganut agama Buddha Tan­tra­yana aliran Tibet, seba­nyak 25% menganut agama Hindu.

Kebahagiaan Bhutan

Bhutan disebut sebagai “Shang­rilla di kaki gunung Himalaya” yang 97% rakyat­nya menganggap diri mereka sangat berbahagia.

Bukannya kebahagiaan yang berasal dari pemuasan nafsu dunia fana, melainkan berasal dari iman dan konsep tahu-cukup.

Orang Bhutan berang­gap­an kemiskinan yang sesung­guhnya adalah apabila tak mampu beramal kepada orang lain, mereka sudah sangat puas asalkan memiliki sa­wah dan rumah.

Dikarenakan mereka ada­lah umat Budha, maka mereka tidak mem­bunuh makhluk ber­nyawa, itulah sebabnya me­reka meng­im­por daging dari India. Namun de­mikian di atas meja makan jarang ter­lihat makanan jenis daging, me­lainkan makan sayur-sa­yuran atau produk dari susu sudah membuat mereka puas.

Pengalaman kebahagiaan Bhu­tan berasal dari Jigme Singye Wang­chuck IV, sang mantan raja yang tidak men­dahulukan perkem­bangan ekonomi melainkan men­di­rikan sebuah negara yang ber­bahagia sebagai amanah ja­batan­nya, dengan kese­taraan, kepedulian dan kon­sep ekologi menyulap Bhu­tan menjadi negara besar dalam hal kebahagiaan.

Pada 2005, Bhutan men­jadi fo­kus berbagai media be­sar sean­tero dunia, “Model Bhutan” ciptaannya, teori Gross National Happiness (GNH) yang dia usulkan mem­pero­leh perhatian seksa­ma ma­sya­rakat internasional dan menjadi tema pelajaran ilmu ekonomi yang digan­drungi para pakar dan institut penelitian sebagian negara seperti AS, Jepang dan lain-lain.

Konsep “baru” dalam pan­da­ngan negara maju pada abad-21 ini, di Bhutan diam-diam telah dija­lan­kan selama hampir 30 tahun.

Yang disebut “Model Bhu­tan” ialah mementingkan per­kem­ba­ngan yang seim­bang antara materi dan spiritual, per­lindungan terha­dap ling­kungan hidup dan proteksi terhadap kebudayaan tradi­sional diletakkan di atas per­kembangan ekonomi, standar untuk pengu­kuran perkem­bangan ialah Gross National Happiness (GNH).

Raja Wangchuk sangat mem­per­hatikan pelestarian lingkungan hidup Bhutan, dia memberlakukan la­rangan merokok di seluruh ne­geri, melarang impor kantong plas­tik.

Selain itu pemerintah me­nen­tukan, setiap orang setiap tahun mi­nimal harus mena­nam 10 batang pohon. Angka cakupan hutan be­lan­tara di Bhutan sebesar 72% bera­da pada urutan no­mor satu di Asia.

Sebanyak 26% tanah di seluruah negeri dijadikan taman nasional. Pada 2005 Bhutan memperoleh ha­diah “Pengawal Bumi” dari Peles­­tarian Lingkungan Hidup PBB (Uni­ted Nations Envi­ronment Pro­g­ramme, UNEP).

Demi melindungi ling­kung­an hidup dan kebu­dayaan mereka, Bhutan rela “mengurangi profit” dan mempunyai pertambangan tapi tidak dibuka.Orang Bhu­tan be­rang­gapan, “Kehi­dupan yang benar-be­nar ber­nilai, bukannya hidup di tem­­pat di­­mana dapat menikmati materi tingkat tinggi, melain­kan memiliki taraf spiritual dan ke­budayaan yang kaya.”

Di sebelah selatan ibu kota yakni kota kabupaten Chukha terdapat se­buah saluran bawah tanah seda­lam 100 meter yang menuju ke PLTA (Pembang­kit Listrik Tenaga Air) Bhu­tan.

Demi melindungi hutan dan kon­tur tanah, proyek yang semes­tinya bisa disele­saikan dalam tem­po empat tahun, mereka malah me­milih waktu 12 tahun untuk me­nem­bus gunung sejauh pu­luhan kilometer.

Air salju dari gunung yang tinggi dialirkan ke bawah ta­nah. Sedang­kan pada dinding pembangkit lis­trik itu dipa­jang 12 lukisan raksasa ten­tang kisah sang Buddha.

Oleh karena tidak meng­hendaki turis yang meluber dapat merusak tradisi kebu­dayaan dan ekologi, maka ba­rang siapa yang memasuki Bhutan diharuskan memba­yar biaya visa sebesar US$ 200 (sekitar Rp 2 juta), mem­batasi dengan tarif tinggi agar Bhutan tak mengalami pence­maran yang berlebihan yang dibawa dari dunia luar.

Pada akhir 2004, peme­rintah Bhutan mengumumkan perintah pe­larangan merokok di seluruh ne­geri. Ini adalah pelarangan mero­kok total kali pertama di dunia, para warga­nya dilarang menghisap ro­kok di tempat umum maupun lokasi terbuka manapun.

Bhutan menerapkan aturan umum mengharuskan laki-pe­rem­puan menge­nakan mo­del busana nasional, kaum prianya berupa se­potong rok terusan yang setinggi lutut, disebut sebagai Gol, kaum pe­­rempuan dengan model tiga potong, panjangnya men­capai tung­kai dan disebut Kira.

Penghasilan Bhutan teru­tama berasal dari hasil per­tanian. De­wa­sa ini, setiap warga Bhutan diper­bo­lehkan mengajukan permo­ho­nan tanah pertanian di desa kepada pi­hak pemerintah. Mereka mem­ba­jaknya dengan cara tradisional dan tidak menggu­nakan pupuk kimia.

Setiap tahun pada Maret hingga November adalah musim pari­wi­sata Bhutan, terutama awal musim semi Bhutan pemandangannya te­ramat indah, tetapi demi melin­du­ngi sumber daya lingkungan hidup, jumlah pelancong tetap dibatasi.

Oleh karena Bhutan belum secara total membuka diri un­tuk pa­riwisata, maka jumlah kota pari­wisata dengan atrak­sinya tidak banyak.

Sebagai lokasi wisata utama ada di lembah sungai pegunungan Hi­malaya di wilayah tengah, pasar ming­gu ibu kota Thim­phu yang se­ring dikunjungi wisatawan, setiap hari Ming­gu selalu dipadati pe­ngun­­jung.

Di tempat itu selain dijual ba­rang keperluan sehari-hari dan ben­da yang bercirikan lokal, juga ter­dapat benda kesenian rakyat seperti buku kuno dan barang antik, selalu saja menyedot banyak sorotan mata dan dana wisatawan.

Juga terdapat peman­dang­an yang wajib dikunj­ungi wisatawan seperti: bangunan bercorak Dzong­pa, perpus­takaan negara (tampak luar­­nya mirip kuil Lama), istana su­ngai Wang Chu dan kom­pleks stu­pa Sarira Maha Guru Padma­sam­bhava.

Punakha Dzong yang megah, ikon gaya bangunan kuil Bhutan, didirikan pada 1636, nomor dua tertua di Bhutan.

Sebetulnya konseplah yang meng­gerakkan perasaan manusia, bu­kan materi yang terlihat di per­mukaan. Sejak zaman kuno hingga kini dalam berbagai macam ling­ku­ngan, perasaan manusia tetap sama. Manusia berang­gapan me­ngejar ke­suksesan ekonomi barulah sum­ber mua­sal kebahagiaan total, akan te­tapi negara bahagia Bhutan menun­jukkan kepada kita, sesung­guh­nya bukanlah demikian. (bbc/es)

Leave A Comment